DaerahNewsUncategorized

18 Kasus Kriminal Mendapatkan Pendekatan Restorative Justice Dari Jaksa Agung RI

JAKARTA, JOURNALARTA.COM – Suatu pagi yang bersejarah bagi sistem peradilan Indonesia, di mana Jaksa Agung RI memberikan lampu hijau bagi 18 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif.

Keputusan ini tidak hanya mencerminkan pergeseran dalam paradigma hukum negara, tetapi juga menggambarkan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan keadilan yang inklusif dan berkelanjutan.

Daftar nama tersangka yang dirilis hari ini Selasa (19/3/2024) oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana mencakup beragam kasus kriminal dari berbagai wilayah di Indonesia mulai dari pencurian, penganiayaan, penadahan hingga penipuan, setiap kasus dihadapi dengan pendekatan yang humanis dan progresif.

Tidak seperti pendekatan tradisional yang seringkali menonjolkan hukuman semata. Restorative Justice menawarkan solusi yang lebih holistik dan berbasis pada pemulihan hubungan sosial.

Dalam kasus ini, alasan penghentian penuntutan yang diberikan oleh Jaksa Agung juga mencerminkan prinsip-prinsip ini.

Salah satu faktor utama dalam keputusan ini adalah proses perdamaian antara tersangka dan korban. Permintaan maaf dari tersangka yang diikuti dengan penerimaan maaf dari korban menjadi tonggak penting dalam memperbaiki kerusakan hubungan yang terjadi akibat tindakan kriminal.

Proses ini tidak hanya menghasilkan rekonsiliasi individual tetapi juga memperkuat jaringan sosial di masyarakat.

Penting untuk dicatat bahwa tersangka dalam kasus ini belum pernah dihukum sebelumnya dan merupakan kasus pertama mereka dalam dunia kriminal.

Hal ini memberikan peluang untuk pembelajaran dan rehabilitasi, yang merupakan tujuan utama dari pendekatan Restorative Justice.

Dengan memberikan kesempatan kedua kepada mereka, kita membuka pintu untuk pembentukan individu yang lebih baik di masa depan.

Selain itu, ancaman hukuman yang dihadapi oleh tersangka juga menjadi pertimbangan. Dalam banyak kasus, hukuman yang mungkin diterima tidak lebih dari 5 tahun penjara atau denda.

Dalam konteks ini, penghentian penuntutan menjadi alternatif yang lebih memperhatikan kepentingan pemulihan dan reintegrasi sosial.

Janji dari tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya juga memberikan bobot dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan berkomitmen untuk memperbaiki perilaku mereka dan menghindari kejahatan dimasa depan, tersangka menunjukkan kesediaan untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan berkontribusi positif pada masyarakat.

Tidak hanya itu, proses perdamaian antara tersangka dan korban dilakukan secara sukarela dan melalui musyawarah untuk mufakat.

Tidak ada tekanan atau paksaan yang dilakukan, memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada kesepakatan bersama dan keterbukaan antara kedua belah pihak.

Pentingnya respons positif dari masyarakat dalam konteks ini juga tidak bisa diabaikan. Restorative Justice bukan hanya tentang menyelesaikan konflik secara individual, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.

Respon yang baik dari masyarakat tidak hanya memberikan validasi terhadap pendekatan ini, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemulihan dan rekonsiliasi.

Namun, keputusan ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan individu, tetapi juga pada pertimbangan sosiologis yang lebih luas.

Dalam mengambil keputusan, Jaksa Agung juga mempertimbangkan dampak sosial dari penuntutan lanjutan terhadap tersangka.

Terkadang, memperpanjang proses hukum hanya akan memperdalam kerusakan sosial dan tidak akan memberikan manfaat yang signifikan bagi korban atau masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan ini, para Kepala Kejaksaan Negeri diinstruksikan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ini bukan hanya langkah administratif, tetapi juga sebuah komitmen untuk menerapkan keputusan ini secara konsisten dan adil di seluruh wilayah Indonesia.

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 menjadi landasan hukum yang kuat untuk pelaksanaan keputusan ini.

Dengan demikian, kepastian hukum dijaga dan prinsip-prinsip keadilan restoratif diperkuat sebagai pijakan yang kokoh dalam sistem peradilan Indonesia.

Keputusan hari ini bukan hanya tentang menyelesaikan kasus-kasus kriminal individual tetapi juga tentang membangun fondasi yang lebih kuat untuk keadilan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan menggandeng prinsip-prinsip Restorative Justice, kita mengambil langkah maju dalam membangun masyarakat yang lebih damai, adil dan bermartabat.

Semoga keputusan hari ini menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan menuju sistem peradilan yang lebih manusiawi dan progresif di Indonesia.

Berikut 18 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atas perintah dan pertimbangan Jaksa Agung yakni :

1. Tersangka Hendra Saputra bin Mahmud dari Kejaksaan Negeri Banyuasin, yang disangka melanggar Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang Pencurian dalam Keluarga.

2. Tersangka Jamilah binti Zakaria dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

3. Tersangka Pitria binti M. Nazir dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

4. Tersangka Lilis Suryani binti Fauzi dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

5. Tersangka Herlya binti Fairozi dari Kejaksaan Negeri Penukal Abab Pematang Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

6. Tersangka Herwita binti Amaldi dari Kejaksaan Negeri Penukal Abab Pematang Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

7. Tersangka Desi Anggraini binti Rahman dari Kejaksaan Negeri Prabumulih, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

8. Tersangka Soleha binti Suharto dari Kejaksaan Negeri Prabumulih, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

9. Tersangka Erwin Rahadi dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan.

10. Tersangka Safira Pratama Putri alias Lala dari Kejaksaan Negeri Batam, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

11. Tersangka Yoseph Francois Niko Saputra alias Niko dari Kejaksaan Negeri Batam, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

12. Tersangka Rahman bin H. Nonci dari Kejaksaan Negeri Kolaka Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

13. Tersangka Yadi Bin Sukku dari Kejaksaan Negeri Kolaka Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

14. Tersangka Banhur Nasir bin Nasir Tahir dari Kejaksaan Negeri Konawe, yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

15. Tersangka Taufik, A. Ma., alias Ufik bin Abdul Haris dari Kejaksaan Negeri Konawe, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

16. Tersangka Raman Alias Man dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

17. Tersangka Niz Aulia alias Niz dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

18. Tersangka Adi Setiawan alias Adi bin Nuriman dari Kejaksaan Negeri Sleman, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

(Sumber : Kapuspenkum Kejagung, Editor : Lapor Pak)


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts