Cerita Rakyat

Cerita Rakyat Bangka Belitung : “Legenda Bujang Katak”

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Edisi kali ini, Redaksi akan menyuguhkan cerita rakyat dari Bangka Belitung yang berjudul ‘BUJANG KATAK’. Cerita ini adalah tentang keajaiban doa. Seorang nenek tua yang tak punya anak terus-terusan berdoa agar mendapatkan anak. Lalu, Tuhan pun mengabulkan keinginannya.

Meski sang anak lahir dengan wajah seperti katak, Nenek itu tetap bahagia. Tidak hanya itu saja, keajaiban doa juga terjadi pada anaknya itu. Selain itu, ada beberapa pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini diakhir artikel.

Baiklah tidak usah berlama-lama, berikut cerita lengkapnya :

Dikisahkan, pada zaman dahulu, hiduplah seorang nenek sebatang kara di desa kecil di Bangka Belitung. Suaminya telah lama meninggal, ia pun tak punya anak bahkan tak punya satu pun sanak saudara.

Selain sendiri, sang Nenek juga hidup sangat miskin. Ia tinggal di sebuah gubuk reyot yang hampir ambruk. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia menggarap sebidang ladang warisan dari almarhum sang suami.

Saat musim tanam tiba, ia sibuk berada di ladang untuk bekerja. Namun, tubuhnya yang lemah membuat ia mudah lelah. Alhasil, baru sebentar bekerja, ia sudah harus beristirahat. Pekerjaannya pun tak selesai dalam waktu sehari saja.

Di tengah teriknya matahari, wanita tua ini berandai-andai. “Seandainya aku punya anak, mungkin ada yang bakal membantuku bekerja. Jadi, aku tak perlu capek-capek menggarap ladang ini sendirian. Kalau nanti aku sudah tak punya tenaga tuk bekerja, siapa yang bakal menggarap ladang ini?” tanyanya dalam hati.

Tak banyak yang nenek tua itu kerjakan. Ketika sore tiba, nenek segera kembali ke gubuk reyot nya. Pada malam harinya, ia duduk-duduk di depan rumah sambil melihat indahnya bintang dan bulan.

Ia sedang meratapi kesendiriannya. Lalu, ia menengadahkan kedua tangannya dan berdoa, “Tuhan, selama ini hamba tak pernah meminta apa pun darimu. Karena hamba selalu merasa Kau telah mencukupi segala yang aku butuhkan. Kau memberiku kesehatan dan juga umur yang panjang. Awalnya, hamba merasa cukup. Tapi, hamba kini butuh seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.”

Tiga hari setelah berdoa, perempuan tua itu merasakan ada yang aneh dengan perutnya. Ia juga merasa mual tiap bangun tidur.

“Tuhan, apa yang terjadi dalam perutku? Aku merasa ada yang bergerak-gerak di dalam perutku,” ucapnya sambil mengelus-elus perutnya.

Semakin hari, perut sang nenek semakin besar. Ia pun menyadari bahwa dirinya sedang hamil.

“Tuhan, terima kasih karena telah mengabulkan doaku,” ucapnya dalam hati.

Nenek sangat bersyukur dan bahagia. Tapi, ia menjadi buah bibir para tetangga.

“Bagaimana bisa si tua renta itu hamil? Selain usianya yang sudah tua, ia juga tak punya suami, kan? Wah, pria mana yang menghamilinya?” ucap salah satu warga.

“Jangan-jangan ia berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.

Demikianlah para warga mencibir sang nenek. Sepanjang nenek melewati rumah para tetangga, beberapa warga langsung berbisik-bisik sambil melihat perutnya.

Meski begitu, Nenek tak pernah merasa tersinggung. Ia tetap merasa bahagia karena akan memiliki momongan. Omongan para warga tak ia dengarkan.

Pada suatu malam, si Nenek berteriak-teriak meminta tolong. Ia mengalami sakit perut yang luar biasa dan sebentar lagi akan melahirkan. Mendengar teriakan Nenek, para warga pun berbondong-bondong tuk ke gubuk reyot itu.

Namun, ketika mereka sampai depan rumah, si Nenek telah berhenti teriak. Tak lama kemudian, terdengarlah suara tangisan seorang bayi. Nenek melahirkan seorang diri.

Lalu, warga masuk ke rumah sang nenek untuk melihat sang bayi. Betapa terkejutnya mereka melihat bayi itu memiliki bentuk dan kulit seperti seekor katak.

“Hei, Perempuan Tua! Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Kenapa wajah anakmu seperti katak?” ucap salah satu warga.

“Jangan-jangan kau berhubungan badan dengan seorang katak? Sungguh mengerikan,” sahut warga lainnya.

Si Nenek lalu menceritakan seluruh kejadian yang ia alami.

“Aku hanya berdoa pada Tuhan agar mendapatkan momongan. Aku juga berkata anak yang berbentuk katak pun tak mengapa. Lalu, Tuhan rupaya mengabulkan doaku,” ucap Nenek.

Meski terdengar tak masuk akal, warga terpaksa mempercayai perkataan sang Nenek. Mereka satu persatu pergi tanpa ada satu pun yang menggendong sang bayi.

Meski sang anak berbentuk seperti katak, Nenek tetap bersyukur atas kelahirannya.

“Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengabulkan permintaanku. Aku akan merawatnya dengan baik dan sungguh-sungguh,” ucap Nenek sambil memeluk anaknya.

Waktu terus berjalan. Anak itu pun telah dewasa. Para penduduk menyebutnya dengan nama ‘Bujang Katak’. Tuhan Maha Baik. Ia menganugerahkan anak yang sangat baik kepada nenek tua itu.

Bujang Katak adalah sosok pemuda yang rajin dan baik hati. Tiap hari, ia menggantikan pekerjaan ibunya di ladang. Namun, Bujang Katak tak pernah pergi ke mana-mana.

Setiap hari, ia hanya menghabiskan waktunya di rumah atau di ladang. Ia juga memperbaiki gubuknya agar tak reyot lagi. Nenek sangat menyayangi anak semata wayangnya itu.

Pada suatu pagi, Bujang Katak bertanya pada sang ibu saat mereka sedang bersantai di depan rumah.

“Bu, maukah kau menceritakan padaku tentang negeri ini?” ucapnya penasaran.

“Tentu saja, Anakku. Negeri yang aman dan tenteram ini dipimpin oleh Raja yang sangat baik dan bijaksana. Ia memiliki tujuh anak perempuan yang sangat cantik jelita. Namun, ketujuh anak Raja belum ada satu pun yang menikah,” ucap sang ibu.

Sejak mendengar cerita ibunya, Bujang Katak jadi sering membayangkan kecantikan para putri Raja. Ia juga sering melamun dan membayangkan meminang salah satu putri.

Sang Ibu yang sedari tadi melihat anaknya melamun pun bertanya, “Anakku, Sayang, apa yang sedang kau pikirkan? Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?” ucap sang Ibu.

“Benar, Bu. Aku memang sedang memikirkan sesuatu yang sangat mengganggu pikiranku,” ucap Bujang Katak.

“Apakah itu, Nak? Katakanlah pada Ibu,” desak sang Ibu.

“Sebenarnya, aku ingin menikahi salah satu putri Raja, Bu. Aku terus-terusan membayangkan kecantikan mereka,” ucapnya.

“Ibu paham benar kau sudah dewasa dan butuh sosok istri. Tapi, permintaanmu itu sangatlah berat, Anakku. Mustahil dari tujuh putri Raja mau menikah dengan orang miskin. Ditambah lagi dengan kondisimu yang seperti ini, Nak. Maafkan Ibu,” ucap sang Ibu.

“Tapi, Bu, aku sangat ingin mencobanya. Siapa tahu, salah satu di antara mereka ada yang mau ku nikahi, Bu,” desak sang anak.

Karena sangat menyayangi Bujang Katak, si Ibu pun mengabulkan permintaannya.

Baiklah kalau kamu mau mencoba. Besok, mari kita datang ke istana untuk menemui sang Raja,” ucap sang Ibu.

Keesokan harinya, sang Nenek pun pergi ke istana untuk menemui sang Raja. Nenek tua itu ingin mengatakan pada Raja bahwa anaknya akan melamar salah satu dari para putri.

“Ba…Baginda Raja, hamba kemari bersama anak hamba karena hendak mengatakan sesuatu,” ucap sang Ibu terbata-bata.

Oh, hai Perempuan Tua, apa yang ingin kau katakan?” tanya Raja.

Karena tak kuasa mengatakan keinginannya, ia pun mengucapkan sebuah pantun. “Te…sekate menjadi gelang. Pe… setempe nek madeh pesan urang,” begitu ucapnya.

Sang Raja mengerti maksud dari si Nenek.

“Oh, jadi kedatanganmu kemari adalah untuk melamar salah satu anakku?” tanyang sang Baginda Raja.

“Be…be… benar, Tuan. Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Tapi, hamba kemari karena ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah satu putri Baginda,” ucap wanita itu gugup.

“Oh, begitu rupanya. Baiklah, aku akan menanyakan maksudmu ke mari kepada ketujuh anakku dulu,” ucap sang Raja.

Lalu, sang Raja menemui para putrinya yang sedang duduk di ruang keluarga.

“Anak-anakku, kalian pernah dengar bahwa di desa ini ada seorang pria yang bentuknya mirip katak?” ujar Raja.

“Tentu saja tahu, Yah. Namanya adalah Bujang Katak dan ia pasti tampak menjijikkan. Tapi, aku belum pernah melihatnya secara langsung,” ucap si Putri Sulung.

“Nah, Ibu dari pria itu datang kemari dan ingin menikahkan salah satu di antara kalian. Kalian harus menolak perempuan tua itu. Ayah tak akan terima kalian menikah dengan pria berbentuk katak,” ucap Raja.

Lalu, ketujuh putri Raja itu pun memasuki ruangan tempat Bujang Katak dan ibunya menghadap. Mereka pun berbisik, “Gila saja pria seperti itu ingin menikah dengan salah satu di antara kami. Ia sungguh tak punya malu.”

“Mereka adalah ketujuh putriku. Satu per satu dari mereka akan menjawab lamaranmu, Bujang Katak,” ucap Raja.

Bukannya menolak dengan kata sopan, si Sulung yang pertama kali menjawab justru melontarkan kata-kata kasar.

“Kau pikir ada yang mau menikah denganmu? Dasar menjijikkan!” ucap si Sulung.

Selain berucap kasar, ia juga meludahi Bujang Katak dan ibunya. Anak kedua dan keenam pun turut berucap kasar dan meludahi mereka. Namun, Putri Bungsu tak melakukannya.

Ia merasa kasihan dengan perempuan tua itu. Di sisi lain, ia juga sangat takut kepada ayahnya.

“Maaf Nenek, aku tak bisa menerima lamaran anakmu,” ucap Putri Sulung.

Sang Ibu pun pulang dengan perasaan yang sedih. Ia lalu menceritakan penolakan dari para putri kepadanya. Bujang Katak merasa sedih. Ia tak tahu bila keinginannya akan menyakiti perasaan ibu.

“Maafkan aku, Bu. Kalau saja aku tak memaksakan keinginanku, Ibu tak akan menerima perlakuan kasar ini,” ucap Bujang Katak.

Meski demikian, sang Ibu ternyata tak menyerah tuk mengabulkan permintaan Bujang Katak.

“Tapi, Nak, Putri Sulung tak meludahi ibu. Bukankah itu pertanda baik?” ucapnya.

“Bagaimana kalau besok kita bersama-sama datang ke istana? Ibu yakin Putri Bungsu akan menerimamu,” ucap sang Ibu.

Bujang Katak tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk tanda menyetujui saran dari ibunya.

Keesokan harinya, datanglah Bujang Katak dan ibunya ke istana untuk menemui sang Raja. Saat sang Ibu hendak mengatakan tujuannya kemari, Raja tertawa melihat wajah Bujang Katak.

“Oh, jadi ini anakmu yang bernama Bujang Katak?” tanya Raja.

“Benar, Tuan. Hamba adalah Bujang Katak. Tujuan hamba kemari adalah untuk…,” belum selesai Bujang Katak berbicara, Raja memotongnya dengan gelak tawa.

“Hahaha, pantas saja orang-orang memanggilmu Bujang Katak. Kau memang mirip katak,” ucap sang Raja mengejek.

“Jadi, kau kemari untuk memperlihatkan wajahmu yang mirip katak itu ke putri-putriku?” imbuhnya.

Raja lalu memanggil ketujuh putrinya.

“Kemari lah anak-anakku, lihatlah pria ini, adakah di antara kalian yang ingin menikah dengan pria berwajah katak ini?” ucap Raja pada ketujuh putrinya.

Lalu, satu persatu putri Raja meludahi Bujang Katak, tapi tidak dengan Putri Sulung. Ia merasa kasihan dengan pria itu. Melihat Putri Sulung tak meludahi Bujang Katak, ia pun bertanya, “Kenapa kau tak meludahi pria ini, Nak? Kemarin kau juga tak meludahi ibunya. Ada apa denganmu?”

“Ayah, ampuni putrimu ini. Namun, maukah engkau merestui ku? Ananda ingin menikah dengan Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.

Sang Raja terkejut mendengar ucapan anaknya.

“Apa? Kau ingin menikah dengan manusia berwajah katak ini? Apa kau serius dengan ucapanmu?” tanya sang Ayah.

“Aku benar-benar ingin menikah dengannya, Yah. Apakah kau memberikan restumu?” tanya si Putri Bungsu.

Namun, sang Ayah tak langsung menjawab. Ia sangat terkejut dan pergi menemui penasihat kerajaan.

“Anakku, Putri Bungsu mau menikah dengan si Bujang Katak. Apa yang harus aku lakukan?” ucap sang Raja.

“Hamba rasa, tak ada salahnya menerima Bujang Katak menikahi Putri Bungsu. Tapi, berikan syarat yang sekiranya tak bisa ia penuhi,” ucap penasihat kerajaan.

Setelah mendengar saran dari penasihat kerajaan, Raja mengizinkan Bujang Katak menikahi Putri Bungsu.

“Kau boleh menikah dengan putriku, tapi ada syarat yang harus kau penuhi,” ucap Raja.

“Syarat apakah itu, Tuan?” tanya Bujang Katak.

“Kau harus membuat jembatan emas sepanjang gubuk mu hingga pintu gerbang istana ini bila ingin menikahi putriku. Apakah kau sanggup menerima syarat tersebut?” tanya Raja.

“Hamba sanggup, Raja. Hamba akan melakukan apa pun demi meminang putri bungsu,” ucap Bujang Katak.

“Akan tetapi, jika kau tak dapat membuat jembatan emas dalam waktu seminggu, kau akan menerima hukuman mati,” ancam sang Raja.

“Apakah kau masih berani?” tanyanya.

Raja berharap Bujang Katak tak menyanggupinya.

“Baiklah, Tuan. Hamba mengerti dan akan segera memenuhi syarat yang engkau beri,” ujar pemuda tangguh itu. Ia tak gentar terhadap ancaman sang Raja.

Lalu, Bujang Katak dan ibunya pun kembali ke gubuk mereka. Sang Ibu merasa bingung memikirkan cara untuk memenuhi permintaan Raja. Ia tak ingin kehilangan anak semata wayangnya yang sangat ia cintai.

“Nak, bagaimana bisa kita membuat jembatan emas? Kita ini orang miskin, Nak. Ibu tak mau hidup sendiri lagi. Ibu tak mau kehilangan dirimu, Nak,” ucap sang Ibu sambil menangis karena ketakutan.

Mendengar sang Ibu menangis, Bujang Katak merasa sangat bersalah.

“Maafkan aku, Bu. Karena keinginanku menikahi Putri Sulung membuatmu khawatir dan bersedih. Tapi, tenanglah, Bu. Aku akan pergi bertapa di gua dekat gunung. Jika sang Maha Kuasa menghendaki, maka apa pun bisa terjadi,” ucap Bujang Katak penuh keyakinan.

Saat malam tiba, Bujang Katak berpamitan dengan ibunya.

“Bu, aku pamit bertapa. Selama aku pergi, Ibu jaga diri baik-baik. Kalau Sang Maha Kuasa menghendaki ku menikahi Putri Sulung, aku akan membawa Ibu ke istana. Tapi, kalau pun Ia tak menghendaki, Ia pasti berikan petunjuk agar aku selamat dari ancaman Raja dan tetap bersama Ibu. Berhentilah menangis dan doakan aku bisa melalui ini semua, Bu,” ucap Bujang Katak sambil menyeka air mata sang Ibu.

Sang Ibu tak bisa berkata apa-apa. Ia tak kuasa menahan tangis dan memeluk sang anak. Setelah kepergian Bujang Katak, sang Ibu tiada henti memanjatkan doa.

Sudah enam hari dan enam malam sejak Bujang Katak bertapa di gua. Akan tetapi, keajaiban tak kunjung datang. Di gubuk, sang Ibu senantiasa berlutut dan berdoa.

“Tuhan, bantulah anakku. Berikan keajaiban kepadanya. Tuhan, aku sangat memohon kepadamu. Jika Kau tak menghendaki anakku menikah dengan Putri Raja, jangan ambil nyawanya, tapi ambil saja nyawaku,” doanya memohon.

Pada hari ketujuh pemuda itu bertapa, tiba-tiba keajaiban pun terjadi. Seluruh tubuh Bujang Katak memancarkan sinar berwarna kuning keemasan. Sedikit demi sedikit, kulit katak yang melapisi kulitnya mengelupas. Bujang Katak pun secara ajaib berubah menjadi pria yang tampan dan gagah.

Lalu, tiba-tiba ada suara yang entah datangnya dari mana.

“Bakar lah kulit katak yang mengelupas dari tubuhmu itu. Maka keajaiban yang lain kan segera tiba,” ujar suara misterius itu.

Dengan cepat Bujang Katak membakar seluruh kulitnya yang mengelupas. Keajaiban pun kembali datang. Kulit-kulit itu kemudian berubah menjadi emas batangan yang sangat banyak.

Setelah mengumpulkan seluruh emas, Bujang Katak lalu berlari ke gubug untuk menemui ibunya.

“Ibu, ibu! Lihatlah, aku berhasil mendapatkan emas yang sangat banyak,” ucapnya.

“Kau siapa, Nak?” ujar sang Ibu tak mengenali anaknya yang telah berubah sangat tampan.

“Aku anakmu, Bu. Keajaiban telah terjadi dalam hidupku. Tadi, tiba-tiba saja kulit kata ku mengelupas dan aku berubah menjadi pemuda tampan. Lalu, kulitku menjadi emas,” ucap Bujang Katak dengan rona wajah penuh kegembiraan.

“Oh, Anakku. Syukurlah kau bisa mendapatkan keajaiban ini. Ibu sangat bahagia karena kamu bisa melalui semua ini,” ucap sang Ibu sambil memeluk anaknya.

“Ini semua juga pasti tak lepas dari doamu, Bu. Aku yakin Tuhan mendengar doamu. Terima kasih, Bu,” ucap sang anak.

Mereka lalu bergegas menyusun emas batangan tersebut dari gubuknya hingga ke pintu gerbang istana. Dalam waktu semalam, mereka berhasil membuat jembatan emas yang Raja pinta.

Sang Ibu tak ada hentinya menangis karena terharu. Ia tak menyangka Tuhan sangat baik kepada dirinya hingga ia dan anaknya bisa melakukan hal yang tak mungkin ini.

Keesokan harinya, istana pun gempar dengan jembatan emas yang berkilauan itu. Pengawal istana langsung melapor kepada Raja, “Tuan, tampaknya Bujang Katak berhasil membuatmu jembatan emas.”

“Tidak mungkin! Mana mungkin orang miskin seperti mereka mampu membuat jembatan emas,” ucap Raja tak percaya. Ia lalu pergi ke gerbang istana untuk memastikan perkataan dari pengawalnya.

Ia sangat tertegun menyaksikan jembatan emas berkilauan. Batangan-batangan emas yang diterpa sinar matahari memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.

Tak lama kemudian, dari kejauhan, tampaklah perempuan tua beserta seorang pemuda tampan berjalan di jembatan emas.

“Siapa mereka?” tanya Raja.

“Kalau yang tua, hamba rasa ia adalah ibu dari Bujang Katak. Namun, kalau pemuda tampan di sebelahnya, hamba tak tahu, Tuan,” jawab pengawal istana.

Sesampainya mereka di hadapan Raja, ia pun bertanya.

“Hei, Perempuan Tua! Siapa pemuda itu? Di mana Bujang Katak?” tanya sang Raja.

“Ampun Baginda, pemuda ini adalah putra hamba, Bujang Katak. Kemarin ia mendapatkan keajaiban sehingga wajahnya berubah menjadi pria tampan,” jelas sang ibu.

Raja pun tersenyum. Ia merasa lega karena putrinya tak jadi menikah dengan seorang pria berwajah mirip seekor katak. Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat pada sang Raja.

“Ampun Baginda, hamba memang Bujang Katak. Hamba mencintai Putri Bungsu. Izinkan hamba menikahinya karena telah berhasil memenuhi persyaratan yang engkau beri,” ucap Bujang Katak memohon.

Seluruh pengawal istana dan Raja merasa sangat terkejut. Mereka tak menyangka jika wajah asli dari Bujang Katak sangatlah tampan dan gagah.

“Baiklah! Karena kamu telah memenuhi persyaratan ku, maka sesuai janjiku, aku akan menikahkan mu dengan putriku, Putri Bungsu,” ucap sang Raja.

Bujang Katak bersyukur tanda bahagia. Ia memeluk sang Ibu dan berulang kali berterima kasih kepadanya.

“Ini semua berkat doamu, Bu. Terima kasih karena kau selalu mendukungku,” ucap pemuda itu.

Raja pun menggelar pernikahan Putri Bungsu dan Bujang Katak dengan meriah. Pesta berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Para undangan yang datang dari berbagai penjuru negara pun turut berbahagia.

Semua orang memang bahagia dengan pernikahan Bujang Katak dan Putri Bungsu. Tapi tidak dengan keenam putri kakak dari si bungsu. Mereka menyesal dan bersedih karena telah menolak pinangan bujang katak yang rupanya sangat tampan.

“Seharusnya aku tak menolak pria itu. Lihatlah, wajahnya teramat tampan,” ucap Sulung kepada adiknya.

“Iya, kalau tahu dia setampan itu, aku pun tak akan menolak. Beruntung sekali si Bungsu karena menikah dengannya,” sahut kakak kedua.

Karena merasa iri, mereka pun berencana untuk mencari katak yang bisa saja adalah seorang pangeran tampan.

“Aku akan meminta pengawal untuk mencari enam ekor katak untuk kita. Siapa tahu, mereka juga sebenarnya setampan Bujang Katak,” ucap si Sulung.

“Aku setuju dengan idemu, Kak. Aku pun ingin menikah dengan pria tampan,” sahut sang adik nomor tiga.

“Pengawal, tolong carikan kami enam katak paling besar dan tampan di sawah. Kami akan memelihara katak-katak itu,” ujar si Sulung.

“Ampun, Putri. Tapi, bolehkah hamba bertanya kenapa engkau ingin memelihara katak sawah?” tanya pengawal.

“Aku ingin mendapatkan katak tampan seperti adikku si Bungsu,” ujar Sulung.

“Ampun, Putri. Bujang Katak dulunya bukanlah katak sawah. Ia lahir dari rahim manusia, Putri,” ucap pengawal mencoba mengingatkan bahwa cara sang Putri tidaklah benar.

“Kau tak usah banyak bicara! Cepat carikan kami katak, atau kau aku hukum!” bentak Sulung yang tak mau mendengarkan pengawal.

Setelah mendapatkan perintah dari Putri Sulung, para pengawal pun bergegas mencari katak sawah. Setelah lama mencari, mereka akhirnya membawa enam katak. Namun, Putri Sulung menolak semua katak itu.

“Aku bilang bawakan katak yang besar, kenapa kalian membawa katak-katak kecil?” ucap Putri.

“Ampun, Putri. Katak besar sangat sulit kami dapatkan. Mereka melompat begitu cepat. Kami kewalahan,” ujar salah satu pengawal istana.

“Dasar tidak becus! Buang semua katak kecil tak berguna ini. Kami akan mencari sendiri katak itu. Kalau ayah mencari, jangan sampai kalian mengatakan yang sebenarnya!” ujar Putri Sulung.

Ia bersama kelima adiknya pun terjun sendiri ke sawah untuk mencari katak besar. Hingga malam tiba, mereka akhirnya berhasil menangkap enam ekor katak. Baju mereka penuh dengan lumpur.

“Apakah pencarian ini akan sepadan dengan harapan kita, Kak?” tanya putri ketiga kepada kakaknya.

“Kita harus yakin. Perjuangan kita tak akan sia-sia,” ucap si Sulung.

Mereka pun kembali ke istana dan memasukkan keenam katak itu ke dalam lemari.

“Bujang Katak menjadi pria tampan setelah 7 hari bertapa, maka kita harus membiarkan para katak ini di lemari selama 7 hari juga. Di hari terakhir, mereka akan berubah menjadi pria tampan,” ucap Putri Sulung percaya diri.

Setelah tujuh hari tujuh malam, para putri pun berkumpul di depan lemari masing-masing.

“Adik-adikku, inilah tiba saatnya kita membuka lemari. Semoga saja, keinginan kita bisa terkabul,” ucap Kakak Sulung.

Dalam hitungan ketiga, mereka pun sama-sama membuka lemari. Namun, malang nasib mereka. Katak-katak tersebut tak menjelma menjadi pemuda tampan, tapi malah mati dan membusuk karena para putri tak memberi makan.

Bau busuk pun membuat keenam putri itu muntah-muntah. Seluruh istana dapat mencium bau busuk dari katak itu. Raja yang mengetahuinya pun geram.

“Bisa-bisanya kalian memelihara katak di lemari? Apa yang sebenarnya kalian inginkan?” tanya Raja.

“Maafkan kami, Ayah. Semua ini kami lakukan karena ingin mendapatkan kodok yang menjelma jadi pria tampan seperti Bujang Katak,” ucap Putri Sulung.

“Dasar kalian! Dulu saja kalian meludahi Bujang Katak dan ibunya, sekarang kalian bersikap seperti ini. Sebagai hukuman, bersihkan katak-katak busuk ini dengan tangan kalian dan jangan minta tolong pada pengawal. Lalu, kalian tidak ayah izinkan untuk keluar kamar selama tujuh hari tujuh malam, seperti yang dialami para katak malang itu,” ucap Raja.

Kebodohan para putri itu hanya bisa membuat si Bungsu dan Bujang Katak geleng-geleng.

Setelah lama menikah, Bujang Katak dan Putri Bungsu pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang wajahnya tampan. Raja yang sudah tua mengundurkan diri dari jabatannya dan meminta Bujang Katak menggantikannya. Bujang Katak memang pria yang tak hanya tampan, tapi juga cerdas dan berwibawa. Ia pantas mendapatkan posisi Raja.(*)

 

—–TAMAT—–

CERITA RAKYAT BANGKA BELITUNG “BUJANG KATAK” ini disadur dari laman Poskata.com yang ditulis oleh Rinta Nariza.

Pesan moral yang diambil dari cerita diatas yaitu jangan suka memandang rendah orang lain. Seseorang tak berarti bernilai rendah hanya karena ia miskin.

Kemudian janganlah menilai seseorang dari penampilannya saja. Bujang Katak memang menyerupai binatang. Namun, ia memiliki sifat yang baik dan pemberani.

Jangan mengucapkan perkataan yang buruk karena perkataan adalah doa. Kita tak akan tahu perkataan mana yang akan Tuhan kabulkan. Seperti halnya yang alami oleh sang Nenek pada kisah ini. Ia tanpa sadar mengucapkan bahwa dirinya tak masalah bila mendapatkan anak mirip Katak. Alhasil, perkataan itu di kabulkan oleh Tuhan.

Terakhir, Janganlah kamu bertindak bodoh seperti kakak-kakak Putri Bungsu lakukan. Hanya karena Bujang Katak dapat berubah menjadi pria tampan, lalu mereka mencari katak sawah dengan harapan dapat suami tampan seperti adiknya.

 

 

 


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts