OPINI

Tanggapan Terhadap Pernyataan Effendi Harun Yang Menyentil Rektor UNMUH Babel Fadillah Sabri

Oleh : Muhamad Zen

 

 

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – Ape hal e jok agak tegang pagi ne? tanya Dul ke sahabatnya Bujang. Ukan cek lah ade pulik tokoh kelontong ngelawak di media hari ne, je pikir je lah hebat lah kalok e, seloroh Bujang sambil ketawak.

Kata Dul, lah lah cek di usah di piker dak, tu kan cuma bunyi-bunyian tanpa pikiran, yang pasti jangan membenarkan pemaksaan bae cek, karena rase ku men name e pemilihan umum tu ade banyak pilihan e, men dak de pilihan name e pemaksaan umum, suroh die ngumong kek Sabek, sentil Dul sambil senyum sendiri.

Begitulah sekelumit diskusi masyarakat pangkalpinang terkait adanya sentilan keras seorang terhadap Rektor Universitas Muhamadiyah Bangka Belitung (UNMUH Babel) yang berkomentar tentang dinamika politik dalam diskusi ruang kosong minggu lalu yang diselenggarakan oleh Rumah Aspirasi Kotak Kosong Kota Pangkalpinang.

Sebagai seorang Rektor tentunya Fadillah Sabri punya pisau analis terkait apa-apa yang disampaikannya dalam diskusi tersebut. Budaya intelektual harus membumi di pangkalpinang khususnya dan Bangka Belitung umumnya. Biarkan ide dan pikiran beradu di ruang publik dan jangan sebaliknya.

Pernyataan Fadilah Sobri mengenai kolom kosong sebagai alternatif dalam pemilihan umum, perlu dipahami dalam konteks akademis dan intelektual.

Sebagai seorang akademisi, Fadilah tidak hanya menyampaikan opini pribadi, melainkan mengedepankan kajian yang berlandaskan pada analisis politik dan sosial.

Pertama, penting untuk diingat bahwa pernyataan Fadilah Sobri didasari oleh pemahaman mendalam tentang dinamika politik dan partisipasi masyarakat. Kolom kosong dalam konteks ini bukan sekadar pilihan simbolis, tetapi juga merupakan refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang ada.

Fadilah berusaha membuka diskusi tentang alternatif yang bisa diambil oleh pemilih yang merasa tidak terwakili.

Kedua, kritik Effendi Harun terhadap pernyataan Fadilah mengabaikan kenyataan bahwa kolom kosong dapat berfungsi sebagai mekanisme checks and balance dalam demokrasi. Dengan mendukung kolom kosong, masyarakat bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki pilihan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kandidat yang tidak memadai, tanpa harus merasa terpaksa memilih calon yang tidak sesuai dengan harapan.

Ketiga, mengenai pernyataan bahwa kolom kosong hanya mewakili asumsi pribadi, hal ini sepertinya meremehkan hasil kajian dan pemikiran Fadilah Sobri sebagai rektor. Sebagai seorang yang berpengalaman di bidang pendidikan dan politik, pernyataannya pasti telah melalui analisis yang mendalam. Ia bukan hanya berbicara berdasarkan kekhawatiran, melainkan berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Terkait saran Effendi untuk memperkuat gerakan sosial melalui NGO sangat baik, tetapi hal ini tidak seharusnya mengesampingkan validitas argumen tentang kolom kosong. Keduanya dapat berjalan beriringan. Masyarakat perlu didorong untuk lebih aktif dalam mengontrol pemerintah, tetapi juga memiliki pilihan dalam proses pemilu itu sendiri.

Dengan demikian, pernyataan Fadilah Sobri seharusnya dilihat sebagai upaya untuk mendorong partisipasi politik yang lebih kritis dan responsif terhadap kondisi masyarakat. Mendukung kolom kosong bukanlah langkah mundur, melainkan sebuah panggilan untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan representasi politik.

Mendukung kolom kosong sebagai alternatif pilihan dalam pemilu seharusnya dilihat sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Ini bukan hanya soal menciptakan ketidakpuasan, tetapi memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keberadaan pilihan yang lebih baik.

Fadilah Sobri juga membawa perspektif bahwa kolom kosong dapat mendorong calon untuk lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Ketika masyarakat merasa bahwa tidak ada kandidat yang layak, mereka akan lebih berani mengambil sikap dengan memilih kolom kosong. Ini bisa menjadi sinyal bagi partai politik dan calon untuk lebih memperhatikan kualitas tawaran mereka.

Dengan adanya kritik dari tokoh seperti Effendi Harun, seharusnya justru menciptakan dialog yang konstruktif. Alih-alih menilai Fadilah Sobri sebagai penggiring opini negatif, kita harus menghargai upayanya untuk mendorong diskusi tentang pilihan politik yang ada. Menganggap kolom kosong sebagai solusi tidak berarti menolak demokrasi, justru ini menegaskan bahwa partisipasi politik harus mencerminkan keinginan dan kondisi nyata masyarakat.

Penting untuk menjaga semangat positif dalam berpolitik. Pendekatan yang merangkul berbagai perspektif, termasuk kolom kosong, akan berkontribusi pada penguatan demokrasi. Masyarakat harus didorong untuk berpikir kritis dan memilih berdasarkan informasi yang mereka terima, bukan hanya pada kandidat yang ada. Dengan cara ini, kita semua berkontribusi pada pembentukan pemerintahan yang lebih baik dan representatif.

Bukankah bahwa Effendi Harun juga memiliki rekam jejak politik yang tidak selalu mulus, termasuk beberapa kali mencalonkan diri di pemilu namun tidak berhasil.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam politik, posisi seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pengalaman pribadi dan aspirasi politik yang belum tercapai, ataukah ada kepentingan tertentu di baliknya.

Sikap Effendi bisa jadi mencerminkan tekanan untuk mempertahankan citra positif atau mendapat dukungan dari pihak tertentu menjelang pemilihan mendatang. Sebagai tokoh yang aktif di arena politik, penting baginya untuk menjaga relevansi dan hubungan dengan para pemilih serta partai politik.

Dengan demikian, publik berhak mempertimbangkan latar belakang dan motivasi di balik pernyataan Effendi Harun. Dalam konteks ini, mempertanyakan konsistensi sikapnya bukan hanya relevan, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus politik yang sehat. Keterbukaan dan transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik, dan semua pihak, termasuk Effendi, harus siap untuk menjelaskan posisinya secara akuntabel.(*)

Tentang Penulis : Muhamad Zen (Aktivis Muda Bangka Belitung) yang aktif di dunia jurnalistik, pernah bekerja di sejumlah perusahaan media nasional cetak maupun media online.
Zen juga sering menulis opini, sesekali pria kelahiran lubuk besar 12 Mei 1980 ini juga berceloteh soal politik lokal dan kritik sosial.

Catatan Redaksi :
————————————
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas. Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Berita dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke Redaksi media kami dengan No telepon sesuai dengan yang tertera di box redaksi.


Eksplorasi konten lain dari JournalArta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

What's your reaction?

Related Posts

Baca Semua Komentar