OPINI

Rusep & Tempoyak (Lagi)

Oleh : AHMADI SOFYAN

 

 

“RUSEP itu nikmat, Tempoyak itu enak. Tapi Rusep & Tempoyak jangan dicampur. Jangan ya Dek ya…., soalnya selain aneh, khawatir kalau dimakan perut bisa “mengkual”. Rusep harus tetap rusep dan tempoyak tetap tempoyak.

 

BANGKA BELITUNG, JOURNALARTA.Com – BOSAN juga menulis kembali “Rusep dan Tempoyak” (apalagi anda yang membacanya), tapi apa boleh buat, kadangkala kesunyian kebun ditepi sungai bersama secangkir kopi diteras pondok kayu diiringi gerimis kecil, mengelitik saya kembali merangkai kata dari layar HP, sebab nun jauh di kota sedang mengoyak riuh dan mengundang hiruk bernada pikuk.

Terdengar suara dari kota sedang atur strategi mengutuk kata: “Rusep Berasa Tempoyak”. Atur strategi mengolah istilah, cari aib tuk menebar cerita, korek-korek buat digoreng, subjek apa objek, siapa yang jadi subjek sebab objek sudah jelas. Sebab ungkapan “Rusep dan Tempoyak” ternyata masih diramaikan. Begitulah kira-kira mengapa kok masih “Rusep dan Tempoyak”.

Rusep adalah makanan khas Bangka yang bahan utamanya adalah ikan laut berukuran kecil (ikan bilis atau ikan teri) mentah. Difermentasi sedemikian rupa setelah ikan dibersihkan, diawetkan dengan garam, gula aren & air kerak nasi. Disimpan dalam waktu yang cukup lama dalam wadah tertutup rapat. Secara penampilan, Rusep memang kelihatan ekstrem. Tapi setelah dinikmati sebagaimana sambal, baru terasa nikmatnya. Ada rasa asam dan asin.

Menikmati Rusep sama dengan menikmati sambal, yakni bersama lalapan, seperti: daun singkong muda, terong, timun, selada, kol, kacang panjang, kacang butur (kecipir), petai, daun cekur dan lain-lain. Uniknya, Rusip ini dilahap tanpa harus dimasak lagi. Cukup ditambah dengan irisan bawang merah, jeruk kunci, serai dan cabe rawit.

Rusep/Rusip diolah dan disantap dalam kondisi mentah. Namun kenikmatannya tiada tara dan disukai banyak orang. Keberadaan Rusep diatas meja, seringkali menjadi pembangkit selera makan. Filosofinya, dalam Pilkada 2024 ini, jadilah Tim Rusep yang berkarakter menggugah kesadaran selera dan walau bentuknya agak ekstrim. Selain itu, Rusep diolah dengan bahan mentah itu artinya ia tak bersentuhan dengan api, sehingga tetap dingin.

Filosofi untuk kehidupannya, bahwa dalam suasana sepanas apapun, jadilah seperti Rusep yang tetap dingin namun sukses menggugah selera. Rusep juga tak dinikmati sendiri, sebab ia harus bersama lalapan. So, bersikaplah merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek dan gunakan argument bukan sentiment. Artinya dari kuliner sederhana sekelas Rusep saja kita bisa mengambil banyak pelajaran.

Sedangkan Tempoyak adalah makanan khas masyarakat Melayu di wilayah Sumatera, terutama di Sumatera Selatan. Sekedar mengingatkan, Sumatera Selatan adalah Provinsi kita (Bangka Belitung) sebelumnya. Kita memisahkan diri penuh perjuangan hingga 3 generasi untuk dapat memisahkan diri dari Sumatera Selatan agar putra-putri Bangka Belitung bisa mandiri, lebih sejahtera, serta mampu membenahi daerah sendiri yang kala itu masih jauh tertinggal dengan daerah lain di Sumatera Selatan. Jas Merah, begitu kata Bung Karno untuk kita generasi Indonesia.

Tempoyak adalah masakan yang sekilas mirip Lempah Kuning khas Bangka. Tapi ingat, rasa dan bahannya sangat jauh berbeda. So, dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa jangan menilai sesuatu dari warna, bentuk atau covernya. Bahan utama tempoyak adalah ikan seperti Lele, Patin, Baung dan beberapa jenis ikan lainnya. Juga ada yang mengolah tempoyak dari daging ayam.

Yang unik, Tempoyak dibumbui oleh daging durian hasil fermentasi. Inilah yang membuat tempoyak berasa asam dan kian enak. Selain sebagai makanan, Tempoyak juga adalah bumbu utama masakan sebagaimana bumbu lempah kuning. Namun uniknya, Tempoyak sering dijadikan sambal sebagai Rusep yakni dimakan bersama lalapan.

Menurut referensi yang saya baca di Wikipedia, (sebab saya tak pernah membuat Tempoyak) cara untuk meraciknya adalah terlebih dahulu menyiapkan daging durian, baik durian lokal atau durian monthong (kurang bagus karena terlalu banyak mengandung gas dan air) dan dijadikan adonan. Durian yang dipilih diusahakan agar yang sudah masak, biasanya yang sudah tampak berair. Kemudian, daging durian dipisahkan dari bijinya dan diberi sedikit garam. Setelah selesai, ditambah dengan cabe rawit yang bisa mempercepat proses fermentasi. Akan tetapi, proses fermentasi tidak bisa terlalu lama karena akan mempengaruhi cita rasa.

Setelah proses di atas selesai, adonan disimpan dalam tempat yang tertutup rapat. Diusahakan untuk disimpan dalam suhu ruangan. Bisa juga dimasukkan ke dalam kulkas, tetapi fermentasi akan berjalan lebih lambat.

Tempoyak yang telah difermentasi selama 3-5 hari cocok untuk dibuat sambal karena sudah asam dan masih ada rasa manisnya. Sambal tempoyak biasanya dipadukan dengan ikan teri, ikan mas, ikan mujair, ikan patin, ataupun ikan-ikan lainnya. Tempoyak biasanya dinikmati dengan lalapan seperti petai, kabau atau jengkol.

Walaupun sama-sama dijadikan sambal bersama lalapan, antara Rusep dan Tempoyak memiliki perbedaan yang sangat jelas. Rusep bahan bakunya berupa ikan dari lautan, sedangkan Tempoyak dari buah durian yang tentunya di hutan (daratan).

Laut dan darat memiliki karakter yang berbeda. Ketika laut hendak menguasai darat, maka itu artinya musibah sedang terjadi. Begitupula ketika darat mau menguasai laut, selain akan merusak dan membunuh biota laut, juga bersiaplah musibah besar akan terjadi sebab air (laut) akan tumpah juga mencari celah ke darat guna mencari tempat. “Likulli maqomin maqolun, wa likulli maqoolin maqomun.” Pointnya, semua itu ada tempatnya masing-masing.

Oya, cuma “nek madah” karakter Urang Bangka, “makin diulon makin nue” dan istilah yang dipakai “Nek yo nggak sudah”. Misalnya diatas meja cuma ada lauk Rusep bersama lalapan “nek yo nggak sudah”. Dari karakter ini, kita bisa menilai bahwa masyarakat Bangka adalah masyarakat yang memiliki kedaulatan diri atau kemerdekaan yang tinggi serta apa adanya, sehingga jangan diajarin “ada apanya”.

Urang Bangka berkarakter (tidak terkontaminasi) adalah orang yang tidak bisa diarah-arahkan, diiming-imingi, apalagi ditakut-takuti, dipaksa-paksakan terlebih kalau diancam. Urang Bangka sejak zaman dulu memiliki karakter senang bekawan walau dak “bekawin”, suka “betampel” alias betamu untuk saling bekisah. Pun demikian, setiap daerah memiliki karakter dan keunikan tersendiri. Itulah kekayaan dan keindahan Indonesia selain pastinya kuliner.

Nah, saya memilih Rusep, karena sedari kecil sudah sering “ditangop” barang ini oleh orangtua. Tapi bukan berarti saya anti Tempoyak, karena beberapa kali saya diajak makan Tempoyak oleh kawan dan tak pernah menolak. Walaupun Rusep dan Tempoyak sama-sama kuliner Nusantara, tapi keduanya jauh berbeda dan tak perlu kejelian apalagi butuh intelektual tinggi untuk membedakannya. Karena beda, maka jangan dicampur Rusep dengan Tempoyak, sebab itu selain menenggelamkan rasa & warna Rusep, juga menghilangkan kemurnian keduanya sehingga rasa pasti “dak keruan jatak”. Jadi, pertahankan Rusep dengan kemurniannya dan Tempoyak ada ditempatnya sendiri. Keduanya adalah kuliner daerah yang berbeda tapi tetap bersaudara. Bukankah begitu?.

Oya, yang mau nyicipin Rusep di Pundok Kebun Atok Kulop selalu tersedia untuk dinikmati bersama. Khusus orang Kota nasi-nya bawa sendiri ya. Karena di kebun kami urang kampong ini, gak ada nasi, yang ada “buk”.

Salam Rusep!

 

 

====
AHMADI SOFYAN (Atok Kulop). Bukan tokoh atau bukan Ketua Ormas apapun apalagi Timses pada Pilkada 2024 ini. Tinggal di kebun ditepi sungai yang hobi “ngentem” Rusep & Lempah Kuning. Sesekali saja masuk Kota yang saat ini dipenuhi baliho & poster tampil muka


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts

Tinggalkan Komentar