OPINI

Sikap HMI Babel Raya Dalam Situasi Darurat Nasional

Oleh : Gilang Virginawan
( Ketua Umum HMI Babel Raya)

 

 

Journalarta.com – Belakangan ini, Negara Indonesia dihadapkan dengan banyak persoalan yang terjadi. Persoalan tersebut menjadi diskursus karena merupakan hal yang fundamental. Di mulai dari pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik. Pemindahan IKN dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan di wilayah Jakarta dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar daerah di Indonesia. Namun, dalam perspektif sosial ekologi, pemindahan IKN akan berdampak pada culture shock yang dialami oleh masyarakat calon IKN yang baru, selain itu akan terjadi perubahan kondisi lahan secara besar-besaran, mengingat Kalimantan merupakan daerah dengan hutan yang sangat banyak dan dikenal sebagai paru-paru dunia.

Dalam persperktif politik, pemindahan IKN sarat akan kepentingan politis dan elitis, terjadi upaya sentralisasi oleh pemerintahan pusat terhadap daerah-daerah tertentu dan pemindahan IKN cendrung untuk mengurangi pengaruh oposisi terhadap pemerintahan bukan didasarkan kepada kondisi perekonomian dan masyarakat. Apabila hal ini tidak dipertimbangan secara matang, maka pemindahan IKN sama saja memindahkan masalah ke daerah lain bukan menjadi solusi dari sebuah permasalahan.

Selain IKN, polemik yang terjadi baru-baru ini ialah mengenai kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng serta kenaikan harga bahan bakar minyak (pertamax). Kenaikan harga kebutan pokok dan bahan bakar minyak (bbm) disinyalir berkaitan dengan kepentingan pengusahan dan penguasa.

Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menyebutkan bahwa pada April 2022 harga minyak goreng menyentuh Rp. 19.950/L, kenaikan harga minyak goreng juga menyebabkan kenaikan inflasi pada Maret 2022. Banyak faktor yang menyebabkan kenaikan harga minyak goreng ini, dimulai dari harga CPO yang naik, penimbunaan minyak goreng oleh oknum mafia sehingga menimbulkan kelangkaan, produsen memilih mengekspor ke luar negeri dibandingkan dalam negeri, faktor cuaca dan faktor politis dari invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.

Selain itu, terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak jenis pertamax dari Rp.9.000/L menjadi 12.500/L, tidak hanya itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan memberikan sinyal akan terjadi kenaikan pada bbm jenis pertalite dan gas 3 Kg. Pernyataan tersebut tentu membuat resah masyarakat, kenaikan harga akan berdampak pada stabilitas kehidupan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bbm tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional dan pemerintah disinyalir dilakalahkan oleh oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari polemik yang terjadi pada kenaikan harga tersebut.

Persoalan lain yang dihadapkan oleh masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak relevan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu, hal ini menimbulkan perdebatan di publik karena kebijakan ini di ambil di tengah kondisi pemulihan ekonomi, selain itu masyarakat sudah tertekan dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok dan bbm. Meskipun tidak semua baang dan jasa dikenakan kenaikan PPN, akan tetapi kenaikan PPN ini dibebankan kepada konsumen (masyarakat), artinya kenaikan 1% PPN ini berdampak besar bagi kalangan masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Ajib Hamdani selaku Bidang Kajian Akuntansi Dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia yang menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% ini sangat berdampak terhadap daya beli masyarakat, kenaikan PPN ini dapat menyumbang angka inflasi dan menekan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, kenaikan PPN ini tidak tepat dikarenakan kondisi perekonomian dan masyarakat yang sedang fluktuatif.

Polemik-polemik di atas menjadi sangat fundamental karena menyangkut kesejahteraan
masyarakat, akan tetapi persoalan tidak berhenti sampai di sana. Saat ini muncul kembali wacana yang diproduksi oleh istana (menteri-menteri Presiden Joko Widodo) mengenai penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana ini bahkan juga digaungkan oleh beberapa partai politik, seperti: PAN, PKB dan Golkar. Hal tersebut kembali muncul ke publik setelah pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia dalam rapat dengan komisi VI DPR RI yang menyataakan bahwa terdapat survei yang menyatakan 70% masyarakat puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo. Bahkan, Bahlil menyatakan banyak pihak (pengusaha) yang mengatakan urgensi pemulihan ekonomi harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan pemilu.

Hal tersebut seakan isu besar yang sengaja dibuat dari kalangan istana dan jajaran elit politik. Kode tersebut semakin bergulir dan sengaja diproduksi oleh beberapa kelompok kepentingan. padahal menurut survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa 67,2 % publik setuju pemilu tahun 2024 tetap dilaksanakan, sementara hanya 24,5 % publik yang memilih menunda hingga 2027 dan sisanya 8,3% memilih tidak menjawab. Mosi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini secara jelas sangat menciderai nilai demokrasi dan semangat reformasi yang
telah dilakukan oleh para aktivis terdahulu.

Selain itu, Inkonsistensi sikap presiden Joko Widodo menjadi fokus besar perhatian publik. Pada tahun 2019, beliau menyatakan usulan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden adalah tamparan bagi wajah beliau, mencari muka dan menjerumuskan beliau. Lalu pada tahun 2021, beliau kembali berpendapat tidak ada niatan dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Namun, pada tahun 2022 sikap beliau seakan berbanding terbalik, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa usulan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu sah-sah saja diusulkan oleh siapapun karena negara ini negara demokrasi, namun tetap harus berdasarkkan konstitusi yang berlaku.

Hal ini menunjukkan ketidaktegasan Presiden Joko Widodo dalam menanggapi isu yang
beredar di publik. Inkonsistensi tersebut juga menjadi bukti bahwa kegagapan Presiden Joko Widodo dalam menjawab pertanyaan publik mengenai sikap beliau terhadap isu yang beredar. Dalam hal konstitusi, aturan mengenai masa jabatan presiden dan pelaksanaan pemilu sudah diatur secara jelas. Dalam pasal 7 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan. Artinya aturan tersebut menjelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menjabat maksimal dua periode.

Kemudian dalam pasal 22E Menyebutkan bahwa pemilihan umum untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD dan DPD diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Artinya pemilu wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Hal di atas menjawab bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden melanggar konstitusi tertinggi yang berlaku di Indonesia. Meskipun konsititusi tersebut dapat dilakukan perubahan, namun apabila hal tersebut terjadi (perubahan UUD Tahun 1945), maka ini menjadi bukti yang sangat jelas bahwa rezim (pemerintah) mementingkan kepentingan pragmatis dan oligarki di atas kepentingan rakyat. Sebab wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak lahir dari suara rakyat melainkan suara kelompok-kelompok kepentingan yang haus akan kekuasaan. Apabila perubahan UUD Tahun 1945 dilakukan untuk kepentingan politis kelompok-kelompok tertentu, maka hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Wacana penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden adalah bukti konkrit dari rezim yang terus ingin berkuasa dan memunculkan oligarki seperti orde baru. Secara filosifis dan sosiologis hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang selalu diperjuangkan. Oligarki dan rezim menjadi mafia dalam lingkaran kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. Penundaan pemilu juga menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam mempersiapkan sektor-sektor startegis negara, pemilu tidak hanya berbicara mengenai pergantian kepemimpinan, namun lebih jauh mengenai nasib dan kemakmuran bangsa ini.

Persoalan-persoalan di atas merupakan bukti kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam
menjaga stabilitas nasional, baik perosalan ekonomi hingga persoalan politik. Persoalan yang terjadi juga berkaitan dengan oligarki dan pemerintahan yang mengambil keuntungan dari masyarakat yang sedang beranjak pulik dari persoalan pandemi sehingga hal ini mennyebabkan SITUASI DARURAT NASIONAL.

Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang terjadi dan menanggapi situasi darurat nasional yang terjadi di Indonesia, maka Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangka Belitung Raya menyatakan sikap, sebagai berikut :
1. Mengutuk keras mafia dan segala pihak yang berperan terhadap kelangkaan, distribusi
dan kenaikan harga minyak goreng serta BBM untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu.
2. Mendorong pemerintah untuk segera menurunkan harga BBM dan minyak goreng
sebagai upaya menjaga stablitas perekonomian.
3. Meminta pemerintah untuk meninjau kembali perpindahan IKN melalui aspek yang
komprehensif: sosial, ekologi, politik, ekonomi serta diorientasikan untuk kepentingan
rakyat.
4. Menolak kebijakan kenaikan PPN dikarenakan tidak relevan dengan kondisi negara
yang sedang pulih dari pandemi dan di tengah harga bahan pokok dan BBM yang
mengalami kenaikan.
5. Menolak dengan tegas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wacana 3 periode serta mengecam keras seluruh pihak yang mewacanakan dan mengembangkan narasi tersebut karena berpotensi memicu konflik berskala besar.    6. Menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat Bangka Belitung untuk bersiap
melakukan aksi sebagai bentuk penolakan terhadap praktik oligarki, KKN dan politik
dinasti yang dilakukan oleh pemerintah.

Apabila poin-poin di atas tidak ditanggapi maka akan ada aksi besar-besaran yang dilakukan oleh elemen mahasiswa dan stakeholders terkait. Apabila Kritik dibungkan, oligarki semakin merajalela, maka hanya ada satu kata “REVOLUSI”.

Melihat berbagai macam dinamika dan polemik yang terjadi di negara ini, saya mengajak seluruh elemen masyarakat Bangka Belitung untuk bersama-sama menolak dan melakukan perlawanan terhadap rezim oligarki, praktik KKN dan politik dinasti yang dimainkan penguasa hari ini, Hidup Rakyat Indonesia!”.


Eksplorasi konten lain dari Journalarta

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Related Posts