Dr. Marshal Pratama Soroti Putusan Bebas Pejabat BRI Dalam Perkara Korupsi Mega BRI Pangkalpinang
Pangkalpinang, Journalarta.com – Putusan bebas terhadap mantan Pinca BRI Pangkalpinang, Ardian Hendri Prasetyo, oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Kota Pangkalpinang yang diketuai Iwan Gunawan beranggota hakim M Takdir dan Warsono, pada Rabu malam (17/11/2021) lalu, dinilai publik Bangka Belitung bikin gaduh.
Sorotan tajam itu datang dari aktivis penggiat anti korupsi, Dr. Marshal Imar Pratama yang menilai putusan bebas terhadap perkara korupsi menjadi preseden buruk di saat Bangsa sedang gencar-gencar memberangusnya. Apalagi dengan perkara mega korupsi seperti kredit modal kerja (KMK) BRI dengan nilai kerugian negara yang fantastis.
Menurut Doktor ekonomi ini wajar bilamana sampai gaduh. Serta mendesak agar putusan bebas ini harus menjadi perhatian sorotan tajam pada hakim pengawas di Pengadilan Tinggi (PT) Bangka Belitung.
“Putusan bebas ini menjadi gaduh di publik jangan sampai lepas dari radar pihak PT selaku pengawas hakim-hakim di Pengadilan Negeri. Sangat konyol kalau gaduh di publik tapi dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut. Bahkan bisa dilakukan investigasi apakah di situ diduga terdapat factor X juga,” kata Doktor Jebolan Universitas Borobudur Jakarta.
Desakan kepada PT untuk turun gunung itu, menurut Marshal tidak berlebihan. Mengingat PT juga terkait langsung dengan pusaran persidangan perkara KMK BRI yang telah merugikan keuangan negara hampir Rp 50 milyar itu.
Persisnya adalah dimana hakim PT telah turut memutus bersalah seluruh terdakwa di tingkat banding yang terdiri dari Sugianto als Aloy dan 5 petugas account officer (AO): Desta Anggir Pratista, M Redinal, Priyandi Al Haqqi, Edwar dan Handoyo.
Pun, putusan yang diketuk palu tak tanggung-tanggung di atas putusan hakim tingkat pertama.
Atau tepatnya sama persis seperti yang telah dituntut oleh pihak jaksa penuntut umum. Seperti pada mafia Aloy, putusan berupa hukuman penjara 11 tahun. Ditambah pidana denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Selanjutnya, atas kerugian negara yang cukup besar itu Aloy juga dijerat pidana berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 20.773.065.000 dikurangi dengan jaminan agunan sebanyak 41 agunan milik terdakwa dan 34 debitur senilai Rp 6.876.096.000 sehingga menjadi Rp 13.894.969.000, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila terdakwa tidak mempunya harta benda yang cukup untuk disita maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun. Adapun akumulasi hukuman penjara badan yang akan diterima Aloy 17 tahun dan 6 bulan penjara.
Adapun putusan di tingkat PN Tipikor -yang rendah itu- berupa 10 tahun penjara serta uang pengganti hanya Rp 11 M dengan subsider 1 tahun kurungan. Selain itu juga disertai denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Adapun akumulasi penjara badan yang akan diterima Aloy di tingkat PN Tipikor itu hanya 11 tahun dan 6 bulan penjara saja.
Bagi Marshal sebuah perkara korupsi pada dunia perbankan atau kredit itu sangat mudah menguraikanya mengingat ruang lingkup modus dan motif yang terbilang sederhana. Begitu juga sangat mudah untuk mencari siapa saja pejabat internal bank yang harus dimintai pertanggung jawaban hukumnya.
Sederhananya perkara yang ada dan mudah dilihat paling seputar permainan marketing fee di lingkaran AO dengan calon debitur.
”Saya sudah sampaikan di awal lalu saat dimintai komentar terhadap perkara KMK BRI Pangkalpinang. Kalau perkara korupsi KMK ini masih sekelas maling telur ayam saja. Gak gede-gede amat tingkat intelektual kejahatanya, jadi mudah untuk menguraikan benang merah. Sederhananya pada debiturnya lihat saja tingkatan usaha dan agunan serta besaran nilai kreditnya,” ungkapnya.
“Kalau ternyata tak berkesesuaian berarti sudah saling main mata. Selanjutnya apakah kejahatan yang terjadi itu pada satu atau dua debitur saja. Kalau cuma segerintil saja masih bisa dimaklumi. Namun ternyata faktanya telah terjadi sampai pada 47 debitur, artinya telah tersistematik,” tambahnya.
Kejahatan yang tersistematik seperti itu –terlebih negara telah dirugikan- tidak bisa pertanggung jawaban hukum hanya ditumbalkan kepada jajaran bawah semata.
Menurutnya adanya jabatan, fungsi dan peran yang melekat pada diri Pinca dan Pincapem terutama terlihat dari seorang pimpinan itu yang memutuskan kredit. Singkatnya, cair tidaknya sebuah kredit itu ada sepenuhnya di tangan seorang pimpinan bank.
Bilamana dikaitkan dengan kasus korupsi yang terjadi sampai hadirnya aktor utama di luar BRI dan debitur –Sugianto als Aloy artinya sebuah kekonyolan. Kekonyolan seperti itu, juga semakin membuat seorang pimpinan bank –Pinca ataupun Pincapem- lebih keras dituntut pertanggung jawaban hukumnya.
“Sederhananya, sungguh suatu kekonyolan kalau sampai seorang Pinca ataupun Pincapem tak tahu menahu kalau telah terjadi mafia kredit –Aloy itu. Apalagi dari fakta persidangan sendiri Pinca dan Pincapemnya telah turun ke lapangan yang disebut on the spot guna menyaksikan sendiri kondisi usaha serta agunan calon debitur. Namun ternyata itu dilakukan sekedar formalitas belaka maka di situ pimpinan tak melaksanakan fungsinya secara benar. Atau bisa diduga tutup mata saja,” tutupnya.(red)
Eksplorasi konten lain dari JournalArta
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.